KISAH BURUNG PEMAKAN ULAT
Oleh: Kak Eka “Rumah Pensil” Wardhana
Matahari telah lama menghilang, bintang-bintang bersinar cemerlang dan bulan mulai terang. Manusia telah tidur, kebanyakan hewan telah tidur, benar-benar sepi seperti di tanah kubur. Namun di dalam sebuah sarang, di atas dahan bercabang, terdengar suara kecil tapi lantang.
“Ayah, apakah engkau telah tidur? Bangunlah Ayah, angkat dirimu dari kasur, aku ingin bertanya bukan melindur.”
Itu adalah suara anak burung pemakan ulat, ayahnya menguap dan menggeliat.
“Ada apa, Anakku? Apa ada yang mengganggu tidur lelapmu? Apa yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Mengapa Ayah terus melatihku dengan giat? Terus terbang tinggi sampai aku tak kuat? Seminggu sudah waktu terlewat!”
“Agar kau kelak jadi burung yang hebat, kau tak boleh hanya jadi pemakan ulat, engkau harus jadi elang yang dahsyat!”
“Apa Ayah tak salah bilang? Atau tajamnya pendengaranku sudah hilang? Ayah, mengapa aku harus jadi seekor elang?”
“Sebab elanglah raja angkasa, semua tunduk padanya, hanya dengan jadi elang hidupmu akan bahagia!”
Air mata si Anak pun berlinang, katanya dengan suara tak lagi lantang, “Ayah, aku tak mungkin jadi seekor elang.”
“Tidak Nak, engkau pasti bisa! Jangan sia-siakan masa muda! Kerahkan seluruh kemampuan untuk mengejar cita-cita!”
“Tapi Ayah, aku hanya burung kecil pemakan ulat, sayapku kecil tapi liat, meski begitu tak mungkin sekuat elang yang hebat.
“Paruhku tumpul dan berukuran mungil, hanya sanggup mengejar ulat-ulat kecil, tak mungkin aku melahap kelinci dan tikus degil.”
Sejak itu Sang Ayah pun terdiam setiap saat, tak lagi melatih anaknya dengan giat, bahkan ia tampak tak lagi bersemangat.
Si Burung Pemakan ulat kecil, kini menjadi labil, tak tahu lagi tindakan apa yang harus diambil.
“Mengapa kini Ayah membiarkan aku? Tak lagi melatih aku? Bahkan tak lagi menegur aku?”
“Anakku, jadi pemakan ulat sangat gampang, sebab ulat bahkan tak bisa melayang tapi kamu malah bisa terbang.”
Si Anak menangis tersedu-sedu, “Ayah, bagiku tak semudah itu. Membedakan jenis ulat pun aku tak tahu.”
“Ayahku sayang, tanpamu aku tak tahu cara yang gampang, untuk jadi pemakan ulat yang cemerlang.”
Si Ayah tersadar kini, bagi seorang anak di usia dini, bimbingan perlu diberi sepenuh hati.
Anak tak perlu dijadikan orang hebat, ia hanya perlu diarahkan dengan tepat, maka semangatnya akan tumbuh seiring bakat.
Jadi hebat tapi menyiksa diri, bukanlah hasil pendidikan sejati, sebab pendidikan bertujuan mencari jati diri.
Allah memang memberi setiap anak bakat dan minat, tapi ia sendirian akan sulit menemukan jalan yang tepat, tugas orangtualah menemani agar ia tak tersesat.
Yang pinter bukan hanya dokter, pelukis pun perlu otak yang muter, menjadi penjahit pun perlu otak seger, agar terus mendapat order.
Bahagia bukan hanya milik pejabat kaya, sebab pedagang pun bisa kaya raya, bahagia adalah milik orang yang hidup sesuai bakatnya.
Bila anak harus mencoba berputer-puter, bantulah ia walau kita harus keblinger, itu namanya orangtua super.
Yang anak perlu dari orangtua, adalah kasih sayang dan rasa percaya, maka Insya Allah kelak ia akan terhindar dari derita, malah akan membuat orangtua bangga.